POLYCYSTIC KIDNEY DISEASE YANG PROGRESIF
PADA KUCING PERSIA
Royama Sari, Herlina, Erni Sulistiawati, Cucu Kartini Sajuthi
Praktek Dokter Hewan Bersama (PDHB) 24 jam Drh. Cucu K. Sajuthi dkk
Jl. Sunter Permai Raya, Ruko Nirwana Sunter Asri Tahap III Blok J-1 no.2 Sunter, Jakarta Utara-Indonesia
ABSTRAK
Polycystic kidney disease merupakan penyakit ginjal bawaan yang diwariskan melalui gen autosomal dominan yang umumnya ditemukan pada kucing Persia dan persilangan Persia. Patofisiologi terjadinya kista tidak diketahui dengan jelas. Kucing bernama Riorita dengan ras Persia, jenis kelamin betina dan berumur sekitar 6 tahun, datang dengan keluhan penurunan berat badan, anoreksia, dan muntah. Palpasi daerah epigastrium dorsal teraba pembesaran ginjal, dengan bentuk permukaan tidak rata dan terasa krepitasi. Hasil pemeriksaan USG terlihat pembesaran ginjal dengan multipel ruang kosong atau kista yang diketahui sudah berkembang menjadi abses renal berdasarkan pemeriksaan sitologi. Hematologi dan kimia darah menunjukkan adanya leukositosis dan azotemia. Kultur eksudat pus menunjukkan mikroorganisme aerob dengan hasil biakan berupa Eschericia coli. Hasil nekropsi menunjukkan sudah terjadinya penyebaran infeksi yang menyebabkan septisemia. Tidak ada terapi yang spesifik untuk PKD, pencegahan dengan deteksi dini sebelum kucing dikawinkan dan kucing yang positif sebaiknya disterilisasi.
Kata Kunci : polycystic kidney disease, kucing Persia, abses renal, E. coli.
Signalemen
Kucing bernama Riorita, ras Persia, jenis kelamin betina dan berumur sekitar 6 tahun, berat badan awal berkisar 3-3.75 kg dan turun menjadi 1.75 kg.
Anamnesa
Anamnesa yang diperoleh dari pemilik yaitu kucing semakin kurus, anoreksia, defekasi normal, pernah muntah.
Gejala Klinis Patologi
Gejala klinis yang tampak pada pemeriksaan fisik awal adalah kaheksia, lethargy, selaput lendir pucat, turgor buruk, dehidrasi, palpasi daerah epigastrium dorsal menunjukkan pembesaran ginjal, dengan bentuk permukaan tidak rata dan terasa krepitasi. Selama perawatan kondisi terus menurun, suhu subnormal, refleks menelan semakin buruk, pilek purulent, nausea, dan muntah.
Hasil Uji Pendukung
Pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan ultrasonografi (USG), fine needle aspirate (FNA), pemeriksaan hematologi, kimia darah, sitologi cairan (efusi) bilateral ginjal, kultur identifikasi bakteri dan uji resistensi terhadap antibiotik, serta pemeriksaan patologi anatomi.
Diagnosa
Polycystic kidney disease (PKD) yang disertai dengan abses renal akibat infeksi bakteri E. coli.
Prognosa
Prognosa yang diberikan untuk kasus kucing ini adalah infausta.
Terapi
Terapi yang telah diberikan berupa terapi cairan infus Ringer Lactate dan NaCl 0.9%, antibiotik ceftriaxone, vitamin neurobion, dan antimuntah cimetidine. Semua obat-obatan diberikan secara parenteral (intravena). Terapi nutrisi diberikan Hill’s Prescription Diet k/d.
Hasil Kajian dan Pembahasan
Polycystic kidney disease (PKD) merupakan penyakit ginjal bawaan yang diwariskan melalui gen autosomal dominan (Hosseininejad et al. 2009) dan umumnya ditemukan pada kucing Persia dan persilangan Persia (Fischer 2001). Karakteristik PKD ditandai dengan terbentuknya multipel kista pada kedua ginjal. Patofisiologi terjadinya kista tidak diketahui dengan jelas. Kista renal merupakan ruang-ruang kosong (vesikel) berisi cairan yang dilapisi oleh epitel, umumnya berasal dari nefron sehingga dapat muncul di korteks maupun medula ginjal. Ukuran kista bervariasi dari 1 mm sampai lebih dari 1 cm dan bertambah jumlah dan ukurannya seiring dengan waktu. Akhir dari pembesaran kista yang progresif akan menekan parenkim ginjal di sekitarnya dan menyebabkan fungsi ginjal terganggu dan terjadi gagal ginjal, terutama jika sebagian besar jaringan terkena (Chandler et al. 2008). Gagal ginjal dapat terjadi pada semua umur kucing yang terkena PKD meskipun biasanya baru terjadi pada kisaran umur 7 tahun (Chandler et al. 2008; Hosseininejad et al. 2009). Ginjal mengalami pembesaran sangat nyata disertai dengan bentuk yang tidak beraturan. Tidak ada terapi yang spesifik untuk PKD dan terapi lebih ditujukan untuk mengatasi gagal ginjal kronis yang terjadi (Chandler et al. 2008).
Pada kucing Riorita pemeriksaan fisik awal ditemukan gejala klinis berupa kaheksia, lethargy, selaput lendir pucat, turgor buruk, dehidrasi, palpasi daerah epigastrium menunjukkan pembesaran ginjal, dengan bentuk permukaan tidak rata dan terasa krepitasi.
Hasil pemeriksaan USG (Lampiran 1 Gambar 1) menunjukkan pembesaran ginjal bilateral dengan multipel kista yang berisi cairan anechoic. Ukuran ginjal kiri membesar dengan diameter 14 x 10 x 6 cm, sedangkan ginjal kanan berukuran 12 x 10 x 5 cm. Menurut Chandler et al. 2008, pemeriksaan USG meupakan teknik diagnosa yang sangat sensitif untuk penyakit ini. Kista akan tampak berbentuk bulat, multipel, dan anechoic.
Dari FNA diperoleh aspirasi cairan ginjal kanan sebanyak 9 ml dengan warna bening, viskositas encer dengan berat jenis (BJ) 1.010, sedangkan FNA ginjal kiri dari dua lokasi yang berbeda menunjukkan aspirasi cairan sebanyak 5 ml dengan fisik cairan serupa (bening), pada aspirasi yang kedua diperoleh cairan sebanyak 3 ml dengan BJ 1.030 yang tergolong sebagai cairan eksudat (pus).
Evaluasi laboratorium diperlukan untuk menentukan keparahan gangguan ginjal (Chandler et al. 2008). Hematologi lengkap kucing Riorita menunjukkan leukositosis ringan 20.2 x 103/µL dengan nilai eritrosit dan trombosit dalam rentang nilai normal. Leukositosis dapat menunjukkan suatu kondisi inflamasi atau infeksi. Selaput lendir yang pucat mengindikasikan terjadinya anemia, meskipun nilai eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit berada dalam rentang nilai normal, tetapi dapat disamarkan oleh kondisi dehidrasinya yang sangat berat. Kimia darah menunjukkan peningkatan ureum 216 mg/dL dan kreatinin 2.87 mg/dL, peningkatan albumin 4.1 g/dL, hiperglikemia 217 mg/dL dan hiperbilirubinemia 0.51 mg/dL. Nilai kimia darah lainnya seperti aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkaline phosphatase (ALP), dan total protein dalam rentang nilai normal.
Secara mikroskopis ulasan cairan ginjal kiri yang berupa pus menunjukkan sejumlah besar sel neutrofil baik degeneratif maupun nondegeneratif dengan sejumlah besar bakteri batang panjang berspora maupun batang pendek disertai dengan sedikit bakteri cocci, seringkali ditemukan bakteri intraseluler neutrofil. Selain neutrofil juga ditemukan limfosit dan sel darah merah minimal, tidak ditemukan sel-sel atypic neoplastic. Ulasan cairan ginjal kiri yang bening dengan viskositas aseluler hanya ditemukan minimal sekali massa halus eosinofilik.
Kultur eksudat pus menunjukkan mikroorganisme aerob dengan hasil biakan berupa Eschericia coli. Menurut Freitag (2006), Uropathogenic Escherichia coli (UPEC) adalah agen infeksius yang paling umum ditemukan pada infeksi saluran urinaria manusia, anjing, dan kucing. Rute infeksi E. coli ke ginjal bisa bersifat ascendens dari saluran urinaria bagian bawah atau dapat berasal dari saluran gastrointestinal (hematogen). Namun penyebaran E. coli secara hematogen biasanya jarang terjadi.
Dari uji resistensi terhadap antibiotik diketahui bahwa bakteri tersebut resisten terhadap amoxicillin, ampicillin, ampicillin sulbactam, erithromycin, dan gentamicin; intermediet terhadap imipenem, tetracycline, dan kanamycin; serta masih sensitif terhadap aztreonam, cefpirome, ceftazidime, ceftriaxone, cefuroxime, chloramphenicol, ciprofloxacin, levofloxacin, cotrimoxazole, doxycycline, fosfomycin, meropenem, polimyxine B, nitrofurantoin, piperancillin taxobactam, dan tigecycline. Menurut Freitag (2006), pilihan antibiotik yang dapat digunakan terhadap infeksi E. coli adalah trimethoprim-sulphadiazine, atau golongan pertama / kedua cephalosporin selama 10-14 hari. Pada kasus yang lebih berat direkomendasikan menggunakan antibiotik yang lain berupa fluoroquinolone dan gentamicin selama lebih dari 4 minggu. Pada kasus Riorita antibiotik yang diberikan adalah ceftriaxone, namun tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini disebabkan infeksi sudah berjalan kronis dan sudah terjadi kerusakan multifungsi organ akibat sepsitisemia.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (Lampiran 1 Gambar 2 dan 3) pada rongga abdomen ditemukan cairan keruh kekuningan sebanyak 20 ml dengan viskositas sedang (agak kental). Seluruh serosa gastrointestinal, hati, dan limpa tertutup oleh lapisan putih kekuningan yang cukup tebal, bentuk permukaan tidak rata, dengan distribusi ketebalan acak. Ukuran hati sedikit membesar dengan tepian organ dari lobus medialis tumpul, parenkim membentuk pola reticular yang cukup nyata. Kantong empedu berisi cairan empedu dalam jumlah cukup. Saluran gastrointestinal hanya berisi cairan ingesta dalam jumlah minimal dan mukosa agak menebal dan merata. Kedua organ ginjal menunjukkan ukuran tiga kali lebih besar dengan kapsula tidak rata dan menebal. Sayatan organ menunjukkan bentuk organ yang bervakuol-vakuol berisi cairan kekuningan agak kental bercampur dengan eksudat kental kuning atau abses dalam jumlah cukup banyak. Rongga dada juga berisi cairan kuning agak kental dengan volume lebih sedikit dari rongga abdomen. Paru-paru menunjukkan abses multipel tahap sedang dengan warna merah muda dengan spot-spot kekuningan dan membesar.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan uji pendukung, diagnosa untuk kasus kucing Riorita adalah polycystic kidney disease (PKD). Pada kasus ini, kejadian PKD disertai dengan infeksi bakteri E. coli sehingga menyebabkan terjadinya abses dan penyebaran infeksi terjadi secara sistemik ke seluruh tubuh. Proses perkembangan PKD tergolong lambat, namun merupakan proses yang tidak dapat balik (irreversible), awalnya tanpa gejala klinis namun seringkali diakhiri dengan gangguan fungsi ginjal. Kematian pada kasus ini diduga terjadi akibat gagal ginjal yang disertai septisemia.
PKD merupakan penyakit yang diwariskan melalui gen autosomal dominan, sehingga dapat lebih mudah untuk mengeliminasinya dari populasi kucing Persia dengan program screening menggunakan USG (Chandler et al. 2008). Pemeriksaan USG dapat mendeteksi keberadaan kista ginjal pada anak kucing umur 7 minggu. Namun akurasi diagnosa penyakit ini meningkat seiring pertambahan umur. Selain itu keberhasilan diagnosa penyakit ini juga dipengaruhi oleh kemampuan operator USG dan sensitivitas alat USG (Fischer 2001; Kitshoff et al. 2011). Kucing yang positif PKD tidak boleh dikembangbiakkan dan sebaiknya langsung disterilisasi (Chandler et al. 2008).
Kesimpulan
Polycystic kidney disease (PKD) merupakan penyakit bawaan yang sering ditemukan pada kucing Persia atau persilangan Persia. Penyakit ini dapat berakibat fatal karena menyebabkan kerusakan ginjal terutama jika disertai infeksi seperti pada laporan kasus kucing Riorita. Tidak ada terapi yang spesifik untuk PKD dan terapi lebih ditujukan untuk mengatasi gagal ginjal kronis yang terjadi. Pencegahan penyakit ini melalui deteksi dini sebelum kucing dikawinkan. Kucing yang positif PKD sebaiknya langsung disterilisasi.
Referensi
Chandler EA, Gaskell RM, Gaskell CJ. 2004. Feline Medicine and Therapeutics. 3rd ed. Blackwell Publishing Ltd, Oxford UK.
Fischer, JR. 2001. Feline Internal Medicine Secrets: Polycystic kidney disease. Lappin MR, editor. Hanley & Belfus, Inc. Philadelphia.
Freitag T. 2006. Uropathogenic Escherichia coli of Dogs and Cats : Pathotypic Traits and Susceptibility to Bacteriophages.[Ph.D Dissertation]. Veterinary Clinical Sciences. Massey University, New Zealand
Hosseininejad M, Vajhi A, Marjanmehr H, Hosseini F. 2008. Polycystic kidney in an adult Persian cat: clinical, diagnostic imaging, pathologic, and clinical pathologic evaluations. Comparative Clinical Pathology. 18 (1): 95-97.
Kishoff AM, McClure V, Lim CK, Kirbergen RM. 2011. Bilateral multiple cystic kidney disease and renal cortical abscess in a Boerboel. J. S. Vet. Assoc. 8 (2).
Lampiran 1 Gambar hasil USG ginjal bilateral dan evaluasi patologi anatomi kucing Riorita
Gambar 1 Hasil USG ginjal kiri (A) dan ginjal kanan (B) kucing Riorita
Gambar 2 Peritonitis, PKD dan abses pulmoner
Gambar 3 PKD bilateral
PDHB drh. Cucu Kartini S, dkk