Vet Information

Feline Infectious Peritonitis

pdhbvet.com Education, Vet Information 6 Comments

Oleh: drh. Ni Made Sutari Dewi

Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh Feline Coronavirus (FCoV), yang termasuk ke dalam golongan virus RNA, yang mudah bermutasi. Ada dua tipe dari FCoV yaitu Feline Enteric Coronavirus (FECV) dan Feline Infectious Peritonitis Virus (FIPV). Pada dasarnya kedua tipe tersebut secara genetik tidak ada perbedaan, namun menimbulkan akibat yang berbeda pada kucing yang terinfeksi.

FECV biasanya menginfeksi bagian sel epitel usus, dan dikeluarkan melalui kotoran, air liur, maupun bentuk sekresi yang lain. Virus FECV dapat bertahan lama di lingkungan, ± 6 minggu. Litter box atau debu yang terkontaminasi sangat berperan dalam penyebaran virus ini. Sekitar 80 – 90 % dari populasi multi-cat environment seperti cattery dan shelter beresiko tinggi terhadap penyebaran virus FECV. Selain itu juga bisa terjadi pada sekitar 30-40 % kucing rumahan, dan 12 % pada kucing yang bebas keluar- masuk rumah. Uniknya kucing yang terinfeksi FECV tetap terlihat sehat, tidak menunjukkan gejala sakit apapun. Namun dalam beberapa kasus, kucing yang terinfeksi FECV akhirnya akan mengalami infeksi FIPV, karena FECV bermutasi menjadi FIPV. Sedangkan FIPV yang merupakan hasil mutasi tidak akan bermutasi lagi.

FIPV biasanya menginfeksi monocytes dan macrophage, dan tidak bertahan lama pada sistem pencernaan, sehingga jarang ditemukan pada kotoran. Kucing yang terinfeksi FIPV tidak beresiko menularkan ke kucing yang lain, sehingga tidak perlu diisolasi.

FIP biasanya menyerang kucing umur 3 bulan hingga 2-3 tahun. Beberapa breed yang beresiko terhadap penyakit ini antara lain Abyssinian, Bengal, Birman, Himalayan, Ragdoll Rex. Faktor lainnya yang dapat memicu antara lain stres, genetik, maupun adanya infeksi virus lainnya seperti Feline Leukimia Virus (FeLV), dan Feline Immunodeficiency Virus (FIV).

Gejala klinis

Gejala yang umumnya muncul pada kasus ini adalah, lethargy, anoreksia, berat badan yang menurun drastis, demam yang naik turun, pertumbuhan yang tidak normal pada kitten, dan ikterus. FIP menunjukkan bentuk klinis effusive (wet) dan non-effusive (dry). Tidak jarang juga ada yang menunjukkan gabungan dari bentuk “wet” dan “dry” ini.

FIP dengan bentuk effusive akan menunjukkan gejala ascites (penimbunan cairan di rongga abdomen), pleural effusion sehingga mengakibatkan gejala dyspnea, tachypnea, dan cyanotic mucous membranes. Selain itu juga ada gejala pericardial effusion, CNS problem dan synovitis.

FIP dengan bentuk non-effusive akan menunjukkan gejala klinis sesuai dengan organ yang terinfeksi seperti :

–          Mata   : uveitis dengan hypema, hypopyon, aqueous flare, miosis, keratic precipitates, perubahan bentuk pupil, perubahan warna iris, chorioretinitis, retinal hemorrhage, retinal dettachment.

–          Central Nervous System ( CNS): kejang, ataxia, nistagmus, gemetaran, depresi, perubahan perilaku, paralisis atau paresis, circling, head tilt, peripheral neuropathies, hyperesthesia, dan urinary incontinence.

–          Gastrointestinal : diare, muntah, obstipasi, focal granuloma pada ileum, ileocecocolic junction, atau colon, dan colitis.

Diagnosa

Diagnosa diambil berdasarkan gejala klinis yang muncul, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya peritoneal atau retroperitoneal effusion, renomegaly, dan perubahan bentuk diffuse pada intestine.

Pasien dengan tipe “wet” FIP lebih mudah untuk dideteksi. Karakteristik dari cairan yang muncul pada tipe ini antara lain berwarna kuning keemasan, agak keruh, lengket, bila dikocok akan berbuih, memiliki specific gravity 1,017-1,047, dan mengandung protein tinggi (> 3,5 g/dl).

Pada pemeriksaan laboratorium akan ditemukan neutrophilia dengan mild left shift, lymphopenia (<1500/µl) dan anemia. Pada serumnya akan ditemukan perubahan seperti :

–          Rasio albumin : globulin < 0,45

–          Total serum protein > 8,0 g/dl

–          Total serum globulin >5,1 g/dl

–           Hypoalbuminemia

–          Peningkatan enzym hati, hyperbilirubinemia, hyperbilirubinuria

–          Azotemia

Pemeriksaan titer antibodi terhadap coronavirus seperti IFA dan ELISA juga tidak spesifik untuk mendiagnosa FIP. Polymerase Chain Reaction (PCR) mungkin lebih sensitif dalam mendeteksi virus RNA melalui darah atau cairan tubuh yang lain.

Dengan demikian ada tiga macam tes yang hasilnya dapat digunakan untuk mendiagnosa FIP yaitu

–          Immunofluoresent stainning terhadap antigen coronovirus yang hasilnya positif

–          Positive Rivalta’s test

–          Titer antibodi coronavirus yang positif

klik untuk lihat video: Rivalta test for FIP

Pengobatan

Tidak ada pengobatan yang cukup efektif untuk menangani kasus FIP. Pemberian antiviral seperti cyclosporine, levamisole, zidovudine/AZT, azyclovir, amphotericin B, dan ribovirin, tidak menunjukkan hasil yang baik, bahkan ada yang menimbulkan efek samping toksik. Umunnya pengobatan yang diberikan sesuai dengan gejala klinis yang muncul, namun sifatnya hanya meringankan, tapi tidak menyembuhkan, bahkan suatu saat bisa menurun lagi dan tidak berespon terhadap pengobatan tersebut. Pengobatan yang dapat diberikan antara lain antibiotika, antimuntah, prednisolone, cyclosphosphamide atau chlorambucil, recombinant feline interferon-omega atau recombinant human interferon-alpha.


Leptospirosis pada Anjing

admin Vet Information 5 Comments

Leptospirosis pada Anjing

 

Leptospirosis merupakan penyakit menular dan zoonosis (menular dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya) yang menyebabkan kegagalan ginjal akut serta penyakit hati. Penyebab leptospirosis adalah berbagai serovar dari Leptospira interrogans. Leptospirosis dalam bentuk subakut tidak tampak gejala klinis sedangkan dalam bentuk akut akan menyebabkan sepsis, nefritis interstisialis (infeksi di ginjal), anemia hemolitika, hepatitis dan abortus. Anjing yang memiliki aktifitas di luar ruangan dan anjing pemburu lebih beresiko menderita leptospirosis. Faktor lingkungan yang mendukung kehidupan Leptospira sp yaitu lingkungan yang lembab dan hangat, musim penghujan, dataran rendah, daerah tropis dan subtropis, lingkungan yang berair. organisme dapat bertahan 180 hari di dalam air atau tanah yang basah, lingkungan yang padat populasi serta terdapat hewan pengerat atau satwa liar.

 

Penyebab

            Leptospirosis pada anjing dapat disebabkan oleh infeksi dari berbagai serovar Leptospira interrogans antara lain yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L.batislava, L. bataviae, L.canicola, L.grippotyphosa, L. hardjo, L. icterohaemorrhagica, L. pomona, dan L. tarassovi. Sedangkan pada kucing dapat disebabkan oleh serovar L. bratislava, L. canicola, L. grippotyphosa, dan L. pomona. Serovar yang sering dipakai di dalam vaksin Leptospira yaitu serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica. Antibodi yang terbentuk terhadap serovar-serovar diatas merupakan antibodi serovar spesifik  sehingga tidak menimbulkan reaksi silang antar serovar  yang berakibat tidak adanya perlindungan terhadap serovar lainnya yang berada di alam walaupun sudah divaksin.

Penularan

            Perpindahan Leptospira ke hewan atau individu lainnya dapat melalui kontak langsung dan tidak langsung. Penularan dapat melalui kontak langsung terhadap urin, abortusan, cairan sperma penderita. Sedangkan secara tidak langsung dapat melalui paparan terhadap lingkungan yang terkontaminasi seperti tanaman, tanah, makanan, air, selimut yang dalam kondisi yang cocok bagi Leptospira bertahan hidup. Leptospira tersebut dapat berasal dari penderita ataupun hewan reservoir seperti tikus. Pada hewan yang telah beradaptasi (hospes), infeksi hanya akan menyebabkan gejala subklinis dan akan menjadi reservoir yang akan menyebarkan Leptospira secara perlahan-lahan. Sedangkan infeksi pada hewan yang tidak teradaptasi akan mengakibatkan penyakit klinis. Leptospira yang dikeluarkan akan berenang bebas di air dan akan menginfeksi melalui luka di kulit, luka gigitan, dan melalui mukosa mata, mulut, alat kelamin, dan mukosa lainnya.

Patogenesa

            Leptospira yang berhasil menembus kulit dan mukosa akan masuk dengan cepat ke pembuluh darah (4-7 hari) dan menyebar ke seluruh bagian tubuh (2-4 hari) terutama ginjal dan hati. Invasi Leptospira tersebut akan menyebabkan demam,  leukositosis, anemia hemolitika, hemoglobinuria ringan, dan albuminuria. Selain itu, akan terjadi ptechie (bintik bintik merah di kulit) akibat rusaknya sel endotel kapiler pembuluh darah. Hati akan mengalami nekrosis sehingga terjadi jaundice (kekuningan). Leptospira akan berkoloni dan replikasi di dalam epitel tubuli ginjal sehingga menyebabkan nefritis interstisialis. Kematian dapat terjadi akibat nefritis interstisialis, kerusakan buluh darah, dan kegagalan.

Gejala Klinis

                        Gejala klinis akan muncul setelah masa inkubasi yang berlangsung selama 5 – 15 hari (rata – rata 1 minggu). Hewan yang menderita perakut dan akut akan menunjukkan gejala berupa anoreksia (hilangnya nafsu makan), lesu, hiperestesi otot-otot perifer, pernafasan yang dangkal, muntah, demam, mukosa pucat dan detak jantung cepat. Kerusakan sel-sel trombosit akan mengakibatkan koagulasi perivaskuler yang luas (Disseminated Intravasculer Coagulation) sehingga terjadi ptechie dan ecchymoses di kulit, epistaksis (mimisan) dan melena (kotoran kehitaman). Gejala klinis lainnya yg cukup khas adalah jaundice (kuning) pada membrane mukosa.

anjing

Mukosa anjing yang mengalami leptospirosis, terlihat kekuningan akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah

Diagnosa

Diagnosa terhadap leptospirosis tidak cukup hanya berdasarkan gejala klinis, hematologi maupun kimiawi darah. Pemeriksaan-pemeriksaan hanya akan memperoleh gambaran adanya gangguan di hati dan ginjal bukan agen penyebab. Gambaran pemeriksaan darah terdapat adanya peningkatan PCV akibat dehidrasi, leukositosis (peningkatan jumlah sel darah putih), trombositopenia (penurunan jumlah trombosit), BUN dan kreatinin yang tinggi (indikasi gangguan ginjal), peningkatan enzim hati (SGOT, SGPT, ALP), proteinuria, dan isothenuria.

Diagnosa terhadap agen penyebab dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratoris yaitu melalui PCR.

Terapi

            Terapi yang dapat dilakukan terhadap penderita leptospira yaitu terapi cairan untuk menangani dehidrasi yang terjadi akibat demam, anoreksia. Jika tidak urinasi atau urin sedikit dapat diterapi menggunakan diuresis yang tidak memberatkan ginjal. Sebelum dilakukan terapi diuresis, sebelumnya harus dilakukan rehidrasi terlebih dahulu. Terapi antibiotika yang tepat yaitu menggunakan amphicillin setiap 8 jam secara intravena. Untuk mengeliminasi leptospira dari jaringan interstisial ginjal menggunakan antibiotik doxycycline selama 3 minggu.

Pencegahan

            Pencegahan melalui vaksinasi merupakan tindakan terbaik yang dapat dilakukan walaupun perlindungan yang berasal dari vaksinasi tersebut dinilai sangat kurang. Hal tersebut dikarenakan vaksin yang sering digunakan hanya menggunakan 2 tipe serovar yaitu serovar L. canicola dan L. icterohemarrhagica. Pabrikan vaksin Fort Dodge telah mengembangkan vaksin dengan empat tipe serovar yaitu L. canicola, L. icterohemarrhagica, L. grippotyphosa, dan L. pomona.

Tindakan pencegahan lainnya yang tidak kalah penting yaitu sanitasi kandang yang baik untuk mencegah kontak dengan urin penderita, pengendalian terhadap hewan pengerat, monitoring dan memindahan anjing carier sampai terapi selesai, mengisolasi hewan penderita selama pengobatan. Selain itu, perlu adanya pembatasan aktifitas ke area yang basah, dataran rendah dengan air yang menggenang serta ke alam liar.

Infeksi pada manusia

Leptospirosis merupakan penyakit menular. Infeksi pada manusia dapat terlihat subklinis, ringan, seperti sakit flu, atau gejala berat dengan gangguan liver dan ginjal. Pencegahan perlu dilakukan dengan cara desinfeksi area, memakai sarung tangan, masker, dan cuci tangan setelah memegang penderita.

 


Heat stroke pada Anjing

admin Vet Information 11 Comments

Heat stroke pada Anjing
Oleh: drh. Agus Efendi

anjing

Hiperthermia merupakan kejadian peningkatan suhu tubuh anjing diatas nilai normal (37,8 – 39,2 oC). Hiperthermia dapat dibedakan menjadi hiperthermia pirogenik (pireksia atau demam) dan hipertermia non-pirogenik. Heat stroke merupakan bentuk dari hiperthermia non-pirogenik (tanpa adanya gejala peradangan) yang terjadi saat mekanisme tubuh untuk menghilangkan panas tidak mampu mengakomodasi panas yang berlebihan sehingga dapat memicu disfungsi organ multisistemik sehingga heat stroke  merupakan kasus emergensi yang memerlukan terapi secepatnya. Suhu tubuh kritis yang dapat menyebabkan disfungsi organ multisistemik adalah 42oC karena nekrosis seluler, hipoksia, dan denaturasi.

 

Penyebab

Anjing tidak dapat berkeringat (kecuali pada sebagian kecil pada bantalan kaki dan hidung) sehingga anjing tidak toleransi terhadap suhu lingkungan yang tinggi. Anjing tergantung pada mekanisme panting untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara pertukaran udara yang bersifat panas dari dalam tubuh dengan udara yang lebih dingin dari lingkungan.  Namun saat suhu udara lingkungan mendekati suhu tubuh maka pendinginan temperatur tubuh melalui panting tidak akan efisien.

Situasi yang umum dapat mengakibatkan heat stroke pada anjing antara lain:

  1. Anjing ditinggal di dalam mobil pada cuaca yang panas
  2. Exercise berat pada cuaca yang panas dan lembab
  3. Sedang menderita penyakit jantung dan paru-paru yang mengganggu efisiensi pernafasan
  4. Sedang dibrangus dalam kondisi sedang dikeringkan menggunakan pengering rambut
  5. Sedang menderita demam yang tinggi atau dalam keadaan seizure
  6. Sedang dikurung pada tempat yang beralaskan beton atau aspal
  7. Sedang dikurung tanpa atap dan air minum yang segar di cuaca yang panas
  8. Pernah menderita heat stroke sebelumnya.

Predisposisi

Anjing yang beresiko besar terserang heat stroke yaitu ; memiliki riwayat heat stroke, intoleran panas akibat rendahnya penyesuaian diri, kegemukan, buruknya kondisi kardiopulmoner, hipertiroidismus, berpenyakit kardiopulmoner, ras brachycephalic, berbulu tebal, dan dehidrasi. Anjing – anjing besar serta berbulu gelap lebih beresiko mengalami heat stroke.

Patofisiologi

Keadaan hiperthermia akan menginduksi vasodilatasi pembuluh darah sehingga menyebabkan darah menggenang di daerah kaki dan volume cairan ekstraseluler akan berkurang akibat evaporasi. Hal tersebut akan mengakibatkan penurunan cardiac output dan tekanan darah terutama di pembuluh darah kulit. Penurunan tekanan darah akan mengakibatan kelemahan, malas, mual, dan hilangnya kesadaran. Suhu tubuh yang tinggi dan berlangsung lama akan mengakibatkan edema cerebral yang akan berujung kematian.

Suhu tubuh yang tinggi dapat mempengaruhi langsung sel-sel tubuh dan pelepasan sitokin (misalnya interleukin, tumor nekrosisfaktor, dan interferon) dari sel-sel endotel, leukosit, dan sel epitel. Kejadian di atas akan menghasilkan respon peradangan secara sistemik yang akan mengakibatkan disfungsi multiorgan, encephalopati, rhabdomyolisis, dan gagal ginjal akut.

Gejala

Anjing yang teserang heat stroke akan memperlihatkan panting yang berat dan kesulitan bernafas, lidah dan membran mukosa akan terlihat merah cerah, saliva kental dan terkadang muntah. Suhu rektal meningkat dari 40ºC dan selanjutnya anjing secara progresif akan lemah dan diare berdarah. Dalam keadaan shock, bibir dan membran mukosa akan menjadi abu-abu, kolaps, seizure, koma dan kematian.

Pemeriksaan klinis terhadap anjing yang terserang heat stroke akan dijumpai; panting, hipersalivasi (berliur), hiperthermia, membran mukosa kemerahan, detak jantung cepat, , shock, kesusahan bernafas, bintik bintik merah di kulit, gemetaran, kejang, koma, keadaan lanjut sampai muntah darah dan diare berdarah hingga kematian.

Diagnosa

Diagnosa penyakit heat stroke berdasarkan peningkatan suhu tubuh diatas normal tanpa adanya gejala peradangan. Panting dan hipersalivasi tidak terdapat pada demam yang sebenarnya. Pemeriksaan darah lengkap mungkin membantu mengetahui perjalanan penyakit. Uji laboratorium lainnya yang penting dilakukan yaitu activated coagulation time (ACT) atau laju endap darah (LED) untuk mendeteksi adanya disseminated intravascular coagulopathy (DIC) sebagai komplikasi dari heat stroke.

Terapi

            Terapi yang dapat diberikan saat terjadi heat stroke yaitu memindahkan anjing dari lingkungan atau sumber panas ke tempat yang lebih dingin atau lebih baik ke ruangan berpendingin (AC). Apabila suhu rektal melebihi 40oC, maka dilakukan pendinginan dengan menyemprotkan air atau merendam anjing di dalam bak mandi yang berisi air dingin (bukan air es) selama 2 menit atau meletakkan anjing yang telah dibasahi ke depan kipas angin sebelum dibawa ke dokter hewan untuk dilakukan tindakan darurat. Pendinginan tersebut tidak boleh menggunakan es atau air yang sangat dingin karena pendinginan yang ekstrim dapat menyebabkan pembuluh darah berkonstriksi sehingga mencegah tubuh untuk mendingin dan dapat meningkatkan peningkatan suhu internal tubuh. Pendinginan tersebut juga harus terjadi secara lamban sehingga terjadi penurunan suhu tubuh yang rendah secara bertahap untuk menghindari terjadinya DIC. Penurunan suhu yang terlalu cepat akan menginduksi terjadinya DIC.

Pencegahan

            Pencegahan terjadinya heat stroke antara lain yaitu:

  1. Anjing yang terjadi gangguan pada pernafasannya harus dijaga agar tetap di dalam ruangan berpendingin atau berkipas angin pada saat cuaca panas dan kelembaban tinggi
  2. Tidak meninggalkan anjing di dalam mobil dengan cendela yang tertutup walaupun mobil sedang diparkir di tempat yang beratap
  3. Tidak melakukan exercise di cuaca yang panas
  4. Selalu menyediakan teduhan dan persediaan air yang banyak ke anjing yang berada di luar ruangan khususnya kennel dengan alas lantai dari beton atau aspal
  5. Menyediakan permukaan yang lebih dingin seperti papan kayu, keset, atau rumput pada anjing yang berada di luar ruangan