Vet Information

Sebaceous Adenitis Pada Anjing Pom

admin Vet Information Leave a comment , , , , , , ,

Sebaceous Adenitis Pada Anjing Pom

Maulana Arraniri Putra1, Cucu Kartini Sajuthi1, Erni Sulistiawati2

  1. PDHB 24 Jam drh. Cucu Kartini, dkk. Sunter-Jakarta Utara
  2. Pusat Studi Satwa Primata, Lodaya-Bogor

 Kata Kunci: Sebaceous Adenitis, Anjing, Omega 6, Omega 3

Signalement dan anamnesa

Ubi seekor anjing mini pom betina dengan usia 12 tahun datang pertama kali ke klinik dengan keluhan kulit berkerak (sisik) parah seluruh badan, gatal, kemerahan dan sakit saat disentuh. Pengobatan yang dilakukan saat itu adalah dengan pemberian itraconazole dan lincomicin bid selama 2 minggu dan omega 3 untuk 1 bulan.  Sebulan kemudian anjing datang kembali ke klinik dengan gejala klinis yang sama dengan kerak yang jauh lebih banyak dan alopecia yang semakin meluas.

Gejala Klinis

Gejala klinis yang muncul adalah kulit terlihat bersisik pada daerah punggung mulai dari bagian bawah tengkuk hingga ujung ekor, alopecia diseluruh bagian yang ditutupi sisik termasuk ekor (rat tail), dan beberapa bagian muncul nodul yang berisi cairan purulent (gambar 1. Kiri). Saat disentuh bagian kulit anjing terlihat kesakitan, khususnya pada daerah yang mengalami kemerahan. Dari hasil pengamatan dibawah wood lamp, beberapa kerak terlihat berpendar. Tidak terlihat ektoparasit apapun dari pemeriksaan kerokan kulit.

Uji Pendukung

Dari hasil pemeriksaan hematologi kesemua parameter masih berada dalam kisaran normal, begitu pula pada kimia darah untuk fungsi ginjal, liver, kolesterol, gula darah dan hormon T4 semua masih dalam kisaran normal. Sementara dari hasil pemeriksaan histopatologi jaringan kulit terlihat kulit khususnya pada bagian epidermis menunjukan adanya local extensive cutaneous acanthosis, adanya peradangan multifocal non suppurative yang bersifat moderat pada kelenjar keringat (hidradenitis) dan pada kelenjar sebaceous (sebaceous adenitis) serta dijumpai pula hyperplasia dan hipertropi disertai perluasan lumen dari kelenjar sebaceous. Ditemukan pula kelenjar sebaceous yang mengalami destruksi. Pada lapisan epidermis terlihat adanya intraepidermal vesicular dermatosis dan cutaneous hyperkeratosis. Selain itu ditemukan pula peradangan intracorneal mononucleus yang tidak terlalu signifikan.

Diagnosa

Dari hasil pemeriksaan klinis dan uji pendukung ubi didiagnosa mengalami sebaceous adenitis bentuk general. Dengan differensial diagnosa nutritional disorder (zink dan vitamin A responsive dermatosis), penyakit autoimmune (Pemphigus Foliaceus) dan endocrinopathy yang berhubungan dengan Addison diseases. Prognosa dari kasus ini adalah dubius.

Terapi

Terapi yang diberikan adalah suplemen omega 3 dan 6 bid (Megaderm® Virbac), suplemen dengan kandungan zinc, selenium dan multivitamin bid, serta liver protectant sid. Selain itu setiap harinya kulit bagian kerak digosok dengan air yang sudah dicampur dengan shampoo yang mengandung chlorhexidine 3% (Pyoderm ® Virbac Shampoo) dengan perbandingan 3:1 sid. Setiap 1 minggu sekali anjing dimandikan dengan shampo yang mengandung keratolitic agent (Sebolytic ® Virbac Shampoo). Anjing diberikan pakan khusus untuk menunjang dan memperbaiki kualitas kulit.

Hasil dan pembahasan

Sebacous Adenitis (SA) adalah suatu penyakit kulit yang bersifat idiopathic yang terjadi pada kelenjar sebaceous anjing (Marsella 2008). Terdapat dua bentuk dari penyakit ini yaitu bentuk lokal dan bentuk General. Bentuk local ditandai dengan area terbatas dengan gejala klinis berupa alopecia, erythrema dan sisik (scale) berlebihan dengan karakteristik yang melekat pada rambut. Inflamasi dan pruritus bisa terjadi khususnya yang disertai dengan pyoderma superficial. Bentuk ini paling sering muncul pada anjing-anjing berbulu pendek dan sering diawali dari kepala atau wajah dan bergerak ke caudal (White 2001). Bentuk yang kedua adalah bentuk general.  Bentuk ini ditandai dengan jumlah sisik yang sangat berlebihan pada kulit, alopecia dan kulit teraba kering saat disentuh. Bagian belakang punggung, medial pinnae dan liang telinga adalah daerah yang paling sering terpengaruh dalam bentuk ini. Pruritus sangat bervariasi tetapi mungkin terjadi, terutama apabila terjadi pyoderma yang disertai dengan infeksi sekunder bakteri (White 2001). Berdasarkan gambaran klinisnya maka kasus yang terjadi pada anjing Ubi merupakan bentuk SA yang bersifat general.

Teradapat empat teori yang menjelaskan penyebab dan patogenesa dari penyakit ini, yang petama adalah penyakit keturunan yang menyebabkan kerusakan dari kelenjar sebaceous. Kedua penyakit ini bisa juga disebabkan akibat munculnya respon immune yang diperantarai sel terhadap kelenjar sebaceous. Ketiga gangguan proses keratinisasi yang disebabkan karena tersumbatnya saluran sebaceous yang disebabkan karena adanya peradangan pada kelenjar tersebut. Keempat, penyakit ini dapat disebabkan oleh abnormalitas dari produksi lipid pada kulit (dermal). Setelah menajalani pengobatan selama 40 hari, terlihat perbaikan yang signifikan dari kulit Ubi. Kulit terlihat tidak berkerak, tidak kemerahan dan tidak sakit saat disentuh (gambar 1 kanan).  Bulu-bulu halus juga mulai tumbuh dibeberapa bagian. Omega 3 dan omega 6 merupakan asam lemak esensial yang memiliki banyak fungsi. Salah satu fungsinya adalah sebagai antiinflamasi. Selain itu komponen utama dari sebum adalah asam lemak, sehingga pemberian supplement omega 3 dan 6 sangat tepat dalam penangan kasus ini. Pemberian supplement yang mengandung zinc pada kasus ini bertujuan untuk mempercepat persembuhan luka dan regenerasi sel kulit mengingat fungsi Zinc yang erat hubungannya dengan proses sintesis DNA. Selain itu perbaikan nutrisi dengan makanan yang mendukung fungsi kulit juga berperan cukup besar dalam persembuhan penyakit ini. Melihat perbaikan yang cukup baik tanpa memberikan obat-obatan untuk penyakit yang bersifat autoimmune maka teori ketiga (gangguan keratinisasi) dan teori keempat (abnormalitas produksi lipid) dapat dijadikan kausa utama yang paling memungkinkan pada kasus Sebaceus Adenitis yang dialami ubi.

Chlorhexidine merupakan senyawa kimia yang umum digunakan sebagai antiseptic, yang efektif baik terhadap bakteri gram positif dan negative. Pemberian Pyoderm ® shampoo bertujuan sebagai antiseptic topical untuk mengurangi infeksi sekunder. Sebagai keratolitic agent anjing dimandikan setiap 1 minggu sekali dengan shampo khusus yang mengandung keratolitic agent (Sebolitic ®).

Kesimpulan

Pemberian kombinasi antara omega 3, omega 6, zinc dan pakan khusus untuk fungsi kulit disertai dengan topical shampoo yang mengandung chlorhexidine dan keratolitic agen memberikan efek yang bagus pada kasus Sebaceus Adenitis yang diduga disebabkan oleh gangguan keratinisasi ataupun abnormalitas dari produksi lipid.

Daftar Pustaka

Campbell KL. 2004. Small Animal Dermatology Secrets. Hanley&Belfus : Philadelphia.

Jassies A, 2008. Successful treatment of rabbit with sebaceous adenitis with ciclosporin and triglycerides. Proceeding of the sixth World Congress of veterinary dermatology p376-377. Wiley-Blackwell: Hong Kong

Williamson N. 2008. Crusting and Scaling Dermatoses. Handbook of Smal Animal Practice ed.5 vol.2. p907-911. Saunders Elsevier: Philadelphia.

Lampiran

1
Gambar 1. Kondisi kulit ubi sebelum dilakukan pengobatan (kiri) dan setelah 40 hari menjalani pengobatan (kanan)

 

 

2
Gambar 2.  Hasil histopatologi dari biopsy kulit ubi. Terlihat akantosis local (A), infiltrasi sel-sel radang pada kelenjar keringat  (B1. Hydradenitis) dan pada kelenjar sebum (B2. Sebaceous adenitis). Juga terdapat kelenjar sebaceous yang mengalami hypertrophy dan hyperplasia epitel kelenjar (C) dan destruksi kelenjar sebaceous (D)


Studi kasus: Pemeriksaan luka pada kornea mata (Ulceratif Keratitis) dan terapinya dengan penambalan menggunakan V-Cell

admin Vet Information 2 Comments , , , , , , ,

Studi kasus: Pemeriksaan luka pada kornea mata (Ulceratif Keratitis) dan terapinya dengan penambalan menggunakan V-Cell

By: drh. Cucu K. Sajuthi & drh. Tiara Putri Sajuthi

 

Ulkus kornea (ulceratif keratitis) adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan terjadinya luka pada kornea. Pada anjing, kejadian ulkus kornea dapat disebabkan oleh trauma, kurangnya produksi air mata / keratoconjunctivitis sicca (KCS), kelainan bulu mata (distichiasis, trichiasis, dan ectopic cilia), kelopak mata melipat kedalam (entropion), dan infeksi sekunder akibat virus. Pada tahap yang lebih lanjut, ulkus kornea dapat menyebabkan komplikasi penyakit mata yang lain seperti anterior synechiae, endopthalmitis, anterior chambre colapse, glaucoma, atropi badan siliari, dan phthisis bulbi (Nasisse 1996).

1

Gambar 1. Ulkus Kornea pada Mata Anjing Chihuahua

 

Kejadian yang paling sering menyebabkan ulkus kornea adalah Keratoconjungtivitis Sicca (KCS). KCS ini ditandai dengan penurunan produksi air mata dan dapat terjadi pada seluruh ras anjing. Produksi air mata yang terlalu sedikit menyebabkan apabila ada benda asing (kotoran atau debu) yang masuk kedalam mata tidak dapat langsung dibersihkan oleh air mata, akibatnya benda asing tersebut akan berdiam lama pada kornea yang mengakibatkan timbulnya luka. Ras anjing yang paling sering mengalami kejadian ini adalah Shihtzu, Pug, English Bulldog, Peking dan Cocker Spaniel (Riis 2002).

Gejala klinis yang tampak pada hewan yang menderita ulkus kornea adalah sering memicingkan mata, produksi air mata berlebihan atau kering, menjauhkan diri dari sinar, sering menabrak benda-benda disekitarnya, dan ukuran antara pupil kiri dan kanan tidak sama besar (Hines 2008). Berdasarkan pengamatan, gambaran klinis yang terlihat pada anjing yang menderita ulkusberbeda untuk setiap tingkat keparahan. Pada kejadian ulkus kornearingan (superficial ulcer) kornea masih terlihat transparan, sehingga untuk mempertegas adanya ulkusdiperlukan test fluorescein. Sedangkan pada kejadian yang sudah parah (deep ulcer) luka tampak dengan jelas, sehingga langsung dapat dilihat tanpa perlu adanya test (Mills 2008).

Luka pada kornea dapat diteksi secara dini menggunakan fluorescein test. Fluorescein ini tersedia dalam bentuk paper strip sehingga aplikasi penggunaannya relatif mudah. Aplikasi dari pemakaian test ini adalah dengan menempelkan paper strip fluorescein test yang telah dibasahi dengan NaCl fisiologis pada dorsal bulbar konjungtiva, kemudian  mata dibilas dengan menggunakan cairan NaCl fisiologis apabila masih terdapat warna hijau yang menempel pada mata, artinya mata tersebut mengalami luka. Mekanisme kerja dari fluorescein ini adalah adanya lipid pada lapis epitel dari kornea. Bila lapis epitel ini mengalami luka maka secara otomatis lipid akan terkikis, akibatnya fluor yang harusnya hilang setelah dibilas dengan NaCl akan tetap berada pada daerah yang mengalami luka (Ward 1999).

 

21 22

Gambar 2. Test Fluorscein

 

 3 32

Gambar 3. Cara Deteksi Ulkus Korna dengan Menggunakan Test Fluorscein

 

 4

 Gambar 4. Hasil Test Fluorsceini positif, yang Menunjukkan adanya Luka pada Kornea.

 

V-Cell merupakan suatu bentukan matriks selular yang akan berubah bentuk menjadi sel yang sama dengan sel sekitarnya. Proses penambalan dengan menggunakan V-cell ini merupakan metode yang paling baik, karena tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Dengan menggunakan V-cell ini ulkus kornea yang dalam dan lebar dapat ditambal dengan baik. Walaupun tentu saja tidak 100 persen bisa kembali normal.

 5

Gambar 5. Ulkus Kornea pada Anjing Shihtzu (Tampak ulkus dan edema kornea)

61 62

Gambar 6. Pemasangan V-Cell pada Kornea

7

Gambar 7. Setelah Pemasangan V-Cell Selesai, Mata Ditutup dengan Metode TEF (Third Eyelid Flap)

8

Gambar 8. Satu Bulan Setelah Operasi (Ulkus dan Edema sudah Tidak Tampak)

Daftar Pustaka

Hines R. 2008. Corneal ulcer in dogs and cats. [terhubung berkala]. http://www.2ndchance.info/cornealulcer.htm.

Mills JT. 2008. Corneal ulceration and ulcerative keratitis [terhubung berkala]. http://emedicine.medscape.com/article/798100-overview

Nasisse MP. 1996. Canine ulcerative keratitis. Di dalam Glaze MB, editor. Ophthalmology in Small Animal Practice. New Jersey: Veterinary  Learning System. hlm 45–56.

Riis RC. 2002. Small Animal Ophthalmology Secrets. Philadelphia: Hanley & Belfus, inc.

Ward DA. 1999. Clinical ophthalmic pharmacology and therapeutics. Di dalam Gelatt KN, editor. Veterinary Ophthalmology. Ed ke-3. Pennsylvania: Lippincott Williams & Wilkins. hlm 336-354.

 


« Previous   1 2 3 4 5 6